Kisruh PPDB, Potretnya Lemahnya Negara dalam Menyelenggarakan Pendidikan
Situasi ini menimbulkan kekecewaan bagi para orang tua dan wali murid yang tereliminasi dari jalur zonasi. Joko Sarjanoko, seorang wali murid yang mewakili Putri Amanda Pertiwi, menyebut kondisi ini sebagai ketidakadilan yang dilakukan oleh panitia penerimaan peserta didik baru (PPDB). (beritasatu.com)
Berdasarkan penelusuran data pendaftarannya, dari 161 siswa yang masuk melalui jalur zonasi di SMAN 1 Kota Bogor, 45 di antaranya merupakan lulusan SMPN 1 dengan alamat di Kota dan Kabupaten Bogor. Namun, hanya 4 siswa yang berasal dari sekitar sekolah, sedangkan sisanya berasal dari wilayah yang jauh dengan memanfaatkan KK dari warga sekitar.
Kondisi ini jelas melanggar prinsip dasar dari jalur zonasi yang seharusnya diperuntukkan bagi warga asli di sekitar sekolah. Joko meminta kepada Gubernur Jawa Barat untuk mengevaluasi dan menertibkan kebijakan sekolah yang dinilai melanggar prinsip jalur zonasi.
Di sisi lain, orang tua lainnya, Royantin Lumintu, mengaku bingung karena meskipun tinggal di sebelah kompleks SMAN 1, anaknya tidak diterima melalui jalur zonasi.
Nasib serupa juga dialami Yassarah Hasna.
Siswi 12 tahun itu harus mengenyam pendidikan di sekolah swasta setelah gagal seleksi jalur zonasi ke dua SMP Negeri.
Jarak dari rumah ke lokasi SMP negeri pilihan pertama sekitar 1,3 kilometer dan 1,6 kilometer ke SMP negeri pilihan kedua. Sementara passing grade jalur zonasi ke dua SMP negeri tersebut hanya berjarak sekitar 500 meter.
Kepala bidang litbang pendidikan di Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G), Feriyansyah, mengatakan apa yang dialami Anastasia juga terjadi pada keluarga tidak mampu lainnya di banyak daerah.
Mereka -yang disebut sebagai siswa jalur afirmasi- tidak tertampung di sekolah negeri. Padahal tujuan dari kebijakan PPDB sesungguhnya agar anak dari keluarga miskin bisa mengakses sekolah negeri.
Faktor utama mengapa mereka tidak lolos jalur zonasi, menurut Feri, karena ketidakjelasan penyelenggara PPDB yakni dinas pendidikan menentukan zonasi sekolah.
Berdasarkan pantauannya, dinas kerap menggunakan fitus aplikasi peta google maps ketika menetapkan zonasi. (bbc.com)
Menko PMK Muhajir Efendy turut menanggapi maraknya orang tua siswa yang memilih cara curang, seperti mengaku miskin agar anaknya bisa ikut jalur afirmasi, padahal ternyata memiliki toko besar; hingga meminjam alamat orang lain agar lolos sistem zonasi. Menurutnya, orang tua yang menggunakan cara curang tersebut sedang mendidik anaknya menjadi calon koruptor.
Persoalan yang pelik yang sama terjadi setiap tahunnya dalam PPDB ini. Tentu saja hal ini semakin membuktikan bahwa pemerintah tidak akan pernah mampu memberikan fasilitas pendidikan yang layak dan adil agar anak usia sekolah dapat tertampung di sekolah negeri yang berkualitas tanpa menghadapi kekacauan sistem pendidikan.
Kebijakan sistem zonasi pada mulanya bertujuan baik, yakni menghilangkan tensi favoritisme sekolah dan mengurangi kasta dalam dunia pendidikan. Ini karena tidak dimungkiri, adanya sekolah favorit dan sekolah “pinggiran” memang menjadi jurang, seakan ada polarisasi tersendiri antara sekolah anak pintar dan tidak pintar. Dengan kebijakan zonasi, polarisasi ini diharapkan dapat terminimalkan.
Faktanya, dalam dunia pendidikan, perbedaan kasta ini sebenarnya tampak pada sarana dan prasarana pendidikan sehingga dengan adanya kebijakan zonasi pemerintah berharap setiap siswa dapat menikmati layanan pendidikan secara merata. Peserta didik yang jarak rumah dan sekolah berdekatan bisa menghemat biaya transportasi. Inilah harapan semua orang tua. Hanya saja, harapan ini seakan pupus dengan banyaknya kecurangan dan penerapan yang jauh dari ekspektasi masyarakat.\
Padahal sejatinya pendidikan adalah tonggak utama dalam menyiapkan generasi emas. Namun faktanya generasi penerus kita jauh dari harapan dengan sisitem yang saat ini diterapkan.
Solusinya jelas, bahwa semua berakar dari tidak diterapkannya Sistem Islam yang mana didalamnya tercakup tentang sistem pendidikan Islam mampu mencetak generasi emas, yang berdasarkan pada akidah Islam dan bertujuan mewujudkan manusia bertakwa dengan kepribadian Islam, berkarakter mulia disertai bekal ilmu Islam dan ilmu pengetahuan serta kompetensi keahlian.
Negara wajib mengatur segala aspek yang berkaitan dengan pendidikan. Berdasarkan iman dan syariat, negara menyiapkan kurikulum, akreditasi, metode pengajaran, bahan ajar, guru yang profesional, sarana dan prasarana. Seluruh hal yang menunjang sistem pendidikan didanai baitul mal. Kas negara dikelola dari harta milik negara dan harta milik umum seperti kekayaan alam, bukan dari pajak juga tanpa membayar mahal. Semua akses pendidikan diberikan secara mudah dan murah, atau bahkan gratis.
Contoh praktisnya adalah Madrasah Al Muntashiriah yang didirikan Khalifah Al Muntashir di Baghdad. Setiap siswa menerima beasiswa sebesar satu dinar. Fasilitas sekolah pun disediakan negara seperti perpustakaan, rumah sakit sampai pemandian.
Begitu pula Madrasah An Nuriah di Damaskus yang didirikan oleh Khalifah Nuruddin Muhammad Zanky. Asrama siswa, perumahan staf pengajar, tempat peristirahatan serta ruangan besar untuk ceramah dan diskusi semuanya difasilitasi negara.
Kaum Muslim menjadikan akidah Islam sebagai landasan berpikirnya, pilar pemahaman kehidupannya, halal dan haram sebagai standar perbuatannya. Hasilnya, generasi yang lahir dari peradaban Islam adalah generasi emas. Ilmuwan Islam seperti Al Khawarizmi, Ibnu Sina, Ar Razi, dan Ibnu Rusyd ahli dalam multi disiplin ilmu pengetahuan dan bahkan ahli dalam ilmu Islam seperti ushul fiqih. Penemuan-penemuan mereka bukan untuk menumpuk harta kekayaan semata, tetapi untuk kemaslahatan umat dan memudahkan menjalankan syariat.
Maka, seharusnya tiada lagi keraguan dalam diri kita. Kaum Muslim seluruh dunia membutuhkan Islam. Kita ingin kembali pada Al-Qur’an dan Islam sebagai sistem kehidupan kita. Peradaban Islam adalah janji yang pasti terwujud dan menjadi kenyataan di masa depan. Memimpin manusia pada kemuliaan dan jalan menuju ampunan Allah. Wallahu a’lam.
Posting Komentar untuk "Kisruh PPDB, Potretnya Lemahnya Negara dalam Menyelenggarakan Pendidikan"