Ironisnya, Korupsi ko Terjadi di Lembaga Anti Korupsi!
Sebelumnya, anggota Dewas KPK, Albertina Ho, mengatakan pihaknya telah mengungkap dugaan pungli itu dilakukan dengan setoran tunai yang diberikan kepada rekening milik pihak ketiga. Ia mengatakan bahwa kewenangan pihaknya terbatas pada penegakan etik. Sementara temuan pungli yang mencapai Rp4 miliar dalam empat bulan itu merupakan peristiwa pidana. (bbc.com)
Menurut Menkopolhukam Mahfud MD, temuan pungli di KPK sangat ironis. Tapi, urusan pungli memang tak mengenal lembaga mana pun, dan bisa terjadi dimana saja. Mahfud MD memastikan temuan pungli di rutan KPK mencapai Rp 4 miliar terus diproses secara hukum. Ia mengungkap pihak-pihak yang terlibat pun siap dipidana. (Kumparan)
Pemberantasan korupsi sangat ditentukan oleh sistemnya. Pemberantasan korupsi akan terus menjadi harapan kosong di dalam sistem politik sekuler demokrasi yang korup saat ini. Karena itu pemberantasan korupsi harus dimulai dengan meninggalkan sistem yang terbukti korup dan gagal memberantas korupsi. Lalu diikuti dengan mengambil dan menerapkan sistem yang benar-benar antikorupsi. Sistem itu tidak lain adalah sistem Islam.
Dilansir dari Muslimahnews, dalam sistem Islam tidak akan ada politik biaya tinggi. Celah bagi kolusi dan upeti dalam pemilihan pejabat juga akan tertutup sama sekali. Tidak seperti sistem sekarang ini. Dalam sistem Islam, hukum juga tidak bisa diutak-atik. Apalagi ditetapkan sesuka hati oleh penguasa. Sebabnya, hukumnya adalah hukum Allah Swt. Bersumber dari Al-Qur’an dan Sunah yang diistinbat dengan istinbat syar’i yang sahih.
Dalam sistem Islam, perubahan hukum atau UU untuk melemahkan pemberantasan korupsi, termasuk melemahkan lembaga pemberantas korupsi, tidak akan terjadi. Tentu masih banyak lagi aspek mendasar dalam sistem Islam yang menjamin sistem ini benar-benar antikorupsi. Adapun secara praktis, pemberantasan korupsi dalam sistem Islam di antaranya dilakukan melalui beberapa upaya berikut ini.
Pertama: Penanaman iman dan takwa, khususnya kepada pejabat dan pegawai. Aspek ketakwaan menjadi standar utama dalam pemilihan pejabat. Ketakwaan itu akan mencegah pejabat dan pegawai melakukan kejahatan korupsi. Rasul saw. mencontohkan hal itu. Tidak ada yang meragukan ketakwaan Sahabat Muadz bin Jabal ra. Namun, tatkala Rasul saw. mengutus Muadz ke Yaman menjadi ‘amil (kepala daerah setingkat bupati) dan ia sudah dalam perjalanan, Rasul saw. memerintahkan seseorang untuk memanggil Muadz agar kembali. Lalu Rasul saw. bersabda kepada Muadz, “Tahukah kamu mengapa aku mengirim orang untuk menyusulmu? Janganlah kamu mengambil sesuatu tanpa izinku karena hal itu adalah ghulûl (khianat). Siapa saja yang berkhianat, pada Hari Kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu (TQS Ali Imran [3]: 161). Karena inilah aku memanggilmu. Sekarang, pergilah untuk melakukan tugasmu.” (HR at-Tirmidzi dan Ath-Thabarani)
Kedua: Sistem penggajian yang layak sehingga tidak ada alasan untuk berlaku korup.
Ketiga: Ketentuan serta batasan yang sederhana dan jelas tentang harta ghulul serta penerapan pembuktian terbalik.
Rasul saw. bersabda, مَنِ اسْتَعْمَلْنَاهُ عَلَى عَمَلٍ فَرَزَقْنَاهُ رِزْقًا فَمَا أَخَذَ بَعْدَ ذَلِكَ فَهُوَ غُلُولٌ “Siapa saja yang kami angkat untuk satu tugas dan telah kami tetapkan pemberian (gaji) untuk dia maka apa yang dia ambil setelah itu adalah harta ghulul.” (HR Abu Dawud, Ibnu Khuzaimah dan al-Hakim)
Berdasarkan hadis ini, harta yang diperoleh aparat, pejabat, dan penguasa selain pendapatan (gaji) yang telah ditentukan, apa pun namanya (hadiah, fee, pungutan, suap, dan sebagainya), merupakan harta ghulul dan hukumnya haram. Hadis ini mengisyaratkan: Pendapatan pejabat dan aparat hendaknya diungkap secara transparan sehingga mudah diawasi. Harta pejabat dan aparat harus dicatat, bukan hanya mengandalkan laporan yang bersangkutan. Harta kekayaan pejabat itu harus diaudit. Jika ada pertambahan harta yang tak wajar, yang bersangkutan harus membuktikan hartanya diperoleh secara sah. Jika tidak bisa, hartanya yang tidak wajar disita sebagian atau seluruhnya dan dimasukkan ke kas negara.
Keempat: Hukuman yang bisa memberikan efek jera dalam bentuk sanksi ta’zîr. Hukuman itu bisa berupa tasyhir (pewartaan/ekspos), denda, penjara yang lama bahkan bisa sampai hukuman mati, sesuai dengan tingkat dan dampak korupsinya. Sanksi penyitaan harta ghulul juga bisa ditambah dengan denda. Gabungan keduanya ini sekarang dikenal dengan pemiskinan terhadap para koruptor. Perlakuan itu bukan hanya diterapkan kepada diri pejabat, tetapi bisa juga diterapkan kepada orang-orang dekatnya. Ini sebagaimana yang pernah dicontohkan oleh Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. dan disetujui oleh para Sahabat. Pencatatan kekayaan, pembuktian terbalik, dan sanksi, termasuk pemiskinan yang memberikan efek jera dan gentar ini, sangat efektif memberantas korupsi.
Wallahua'lam
[beritaislam.org]
Posting Komentar untuk "Ironisnya, Korupsi ko Terjadi di Lembaga Anti Korupsi!"