Pertanyakan Iman Kita! Ibadah Tapi Masih Maksiat, Begini Kata UAH

Tangkapan layar kanal YouTube Adi Hidayat Official

Beritaislam - Bukankah semakin rajin ibadah seharusnya semakin menjauh dari maksiat? Tentu kita sering mendengar istilah-istilah seperti “rajin shalat kok marah, rajin ngaji kok zhalim, rajin ibadah kok maksiat” tentu yang salah bukanlah ibadahnya tetapi si pelaku ibadah. Begini penjelasan Ustadz Adi Hidayat.

Allah SWT berfirman dalam satu Hadits Qudsi ”Sesungguhnya Aku (Allah) hanya akan menerima shalat dari hamba yang dengan shalatnya itu dia merendahkan diri di hadapan-Ku. Dia tidak sombong kepada  makhluk-Ku yang lain, tidak mengulangi maksiat kepada-Ku, menyayangi orang-orang miskin dan orang-orang yang menderita. Aku akan muliakan shalat hamba itu dengan  kebesaran-Ku. Aku akan menyuruh malaikat untuk menjaganya. Dan kalau dia berdoa kepada-Ku, Aku akan memperkenankannya. Perumpamaan dia dengan  makhluk-Ku yang lain adalah seperti perumpamaan Firdaus di surga.”

Antara Ta’at, Maksiat, dan Lagha
Kita mungkin pernah melihat, ada orang salat tapi masih berbuat perkara tidak penting. Ustadz Adi Hidayat dalam tanya jawab MIRA memaparkan antara ta’at dan maksiat. Di antara keduanya Ustadz Adi menyebutkan “lagha” atau hal yang tidak penting. “Lagha” ini belum tentu dosa, tetapi banyak yang tidak menyukainya karena berpotensi mendekatkan pada maksiat dan melupakan ibadah.

Kita ambil contoh, maksiat yang jelas berdosa dari segi aspek penglihatan. Misalnya melihat yang terlarang, pornografi apalagi porno aksi dan hal-hal lain yang Allah benci sudah jelas maksiat. Berbeda jika menonton film, itu tidak ada unsur melihatkan langsung aspek maksiatnya. Sedangkan lagha adalah melalaikan ta’at, membuang waktu sia-sia. Waktu untuk membaca Al-Quran terbuang begitu saja dan waktu untuk mengasah otak jadi berkurang.

Penjelasan Ustadz Adi Hidayat tentang Tingkatan Iman
Dalam Islam, gambaran keimanan itu ditunjukkan dengan perbuatan amal shaleh. Ustadz Adi Hidayat menjelaskan dalam sesi tanya jawab tersebut bahwa tingkatan iman terbagi menjadi tiga. Pertama, iman dasar. Makna “aamana” yaitu iman yang standar. Tanda standar iman ditunjukkan dengan amalan-amalan atau ibadah yang dikerjakan hanya yang sifatnya menggugurkan kewajiban saja. Standarnya iman terlihat ketika mengerjakan salat. Mereka hanya mengerjakan salat wajib saja, belum tergerak mengerjakan salat-salat sunnah. Jadi feedback atau timbal balik dari ibadah yang mereka dapatkan juga standar.

Misalnya fungsi shalat adalah mencegah yang keji dan munkar. Mereka yang hanya mengamalkan ibadah shalat wajibnya saja, secara standar maka yang tercegah juga hanya perbuatan keji dan munkar yang sifatnya standar. Karena itu salat tidak dapat mencegah godaan yang melebihi batas standar. Inilah yang menyebabkan orang yang salat masih melakukan maksiat.

Untuk mencegah godaan-godaan yang berat atau melebihi standar maka seseorang harus menaikkan level keimanannya. Kata “aamana” berubah menjadi mudhari’ dengan “yu’minu” bermakna ketersambungan, konsistensi akan iman, terus berlatih agar menjadi kebiasaan. Iman yang naik level terlihat dari ibadah yang juga naik levelnya. Seperti shalat tidak hanya melaksanakan yang wajib saja tapi juga yang sunnah-sunnah. Hal ini agar benteng kita makin kuat dan bisa memfilter godaan-godaan yang melebihi standar.

Jika sudah berusaha untuk istiqamah menaikkan level ibadah menjadi kebiasaan dan melekat akan hal itu maka levelnya menjadi “mu’min” atau jamaknya “mu’minun”. Dalam tingkat ini bukan lagi soal kuantitas ibadah, tapi juga kualitas ibadah. Dengan ibadah yang berkualitas itu tentu akan meninggalkan hal-hal yang tidak penting. Misalnya menyibukkan diri dengan hal-hal yang bermanfaat seperti membaca Al-Qur’an, menulis dan sebagainya.

Rajin ibadah tapi Masih Bermaksiat, Apa Faktornya?
Kenapa rajin ibadah tapi masih bermaksiat? Dari pemaparan Ustadz Adi Hidayat mengenai iman dapat kita pahami bahwa ketika iman kita standar maka godaan-godaan di atas standar tidak bisa kita cegah, dan maksiat akan muncul. Ketika iman meningkat, maka potensi-potensi maksiat di atas standar yang tadinya tidak bisa dicegah, kali ini bisa ditangani. Namun “lagha” atau hal-hal yang tidak penting masih bisa mempengaruhi iman kita di level ini. Maka, “lagha” inilah yang membuka jalan untuk bermaksiat. Ketika kita sibuk melakukan hal-hal yang tidak penting atau kurang bermanfaat, potensi-potensi untuk maksiat dapat mempengaruhi kita.

Bagaimana cara mencegah “lagha” ini? tentu dengan meningkatkan kualitas ibadah. Jika tadinya kita meningkatkan kuantitas, maka kali ini kualitas ibadah juga harus ditingkatkan. Seperti ketika shalat misalnya, mereka sudah banyak melaksanakan amalan shalat sunnah. Maka sekarang saatnya meningkatkan kualitas shalatnya dengan berusaha lebih khusyu’. Maka dengan berusaha meningkatkan kualitas ibadah inilah setan yang tadinya bisa menggoda lewat jalur “lagha” ini bisa tercegah. Semoga kita senantiasa diberi kekuatan oleh Allah untuk tetap istiqamah dalam kebaikan. Wallahu a’lam bisshawab. (Sumber: rahma.id)

[beritaislam.org]

Posting Komentar untuk "Pertanyakan Iman Kita! Ibadah Tapi Masih Maksiat, Begini Kata UAH"

Banner iklan disini