PHK di Mana-mana, Nasib Buruh yang Semakin Lusuh

PHK di Mana-mana, Nasib Buruh yang Semakin Lusuh

Beritaislam - Peringatan Hari Buruh 1 Mei lalu menjadi sedikit berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, yakni ketiadaan aksi demonstrasi buruh untuk menuntut kesejahteraan mereka yang sebelumnya tidak pernah absen mewarnai May Day. Tahun ini peringatan besar seluruh dunia itu bertepatan dengan pandemi Covid-19 yang tidak hanya menghalangi para buruh untuk berdemonstrasi tetapi juga semakin mengikis habis harapan sebagian dari mereka untuk bisa hidup sejahtera.

Sebagaimana dilansir dari CNN Indonesia (1/5) Kementerian Ketenagakerjaan menyebut sebanyak 2,8 juta pekerja terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dan dirumahkan. Jangankan jaminan kesejahteraan bahkan jaminan hidup pun kini kian menipis bagi mereka. Di tengah kondisi pandemi yang tidak kunjung membaik ini, mereka tetap harus memenuhi kebutuhan hidupnya secara mandiri dengan sumber penghasilan yang tak lagi mereka dapati.


Pekerja yang tidak mengalami PHK pun mengalami nasib yang tak jauh berbeda. Jaminan kesejahteraan yang selalu didambakan kini malah nampak semakin jauh dari jangkauan. Beberapa waktu lalu bahkan setelah merebaknya virus Covid-19 dan membuat panik seluruh negeri, DPR RI justru semakin serius membahas Omnibus Law RUU Cipta Lapangan Kerja seperti yang diberitakan detiknews (14/4). Peristiwa ini sangat mencerminkan hal ihwal apa yang paling penting bagi penguasa negeri ini sampai-sampai pandemi pun tak mampu menunda pembahasannya.

Omnibus Law yang digadang-gadang menjadi UU sapu jagat untuk investasi ini memang telah menjadi fokus DPR sejak tahun lalu. Banyak hal yang termuat dalam Omnibus Law yang ditengarai akan semakin menyulitkan para buruh seperti penghapusan upah minimum dan berbagai cuti seperti cuti haid, menikah, dan beribadah. Dalam kasus ini negara seolah mengesampingkan kesejahteraan para buruh. Ini menjadi wajar mengingat peran negara dalam sistem kapitalis.

Negara dalam sistem kapitalis hanya berperan sebagai regulator yang mengatur hubungan pekerja dengan pengusaha. Negara tidak menempatkan dirinya sebagai pihak yang bertanggungjawab penuh atas kesejahteraan pekerja dan seluruh rakyat pada umumnya, tetapi justru membebankan kesejahteraan pekerja pada pengusaha, termasuk jaminan kesehatan, pendidikan, keamanan, ataupun tunjangan rumah. Ini berarti negara berlepas tangan atas kesejahteraan dan kemaslahatan para pekerja, serta mengambil peran hanya sebatas pada penetapan dan pemantauan regulasi.

Keadaan ini sungguh berbanding terbalik dengan pengaturan Islam. Dalam sistem Islam kesejahteraaan pekerja tidak dibebankan kepada pengusaha termasuk di dalamnya kesehatan, pendidikan, keamanan, berikut tunjangan rumah untuk para pekerja. Ini karena akad yang terdapat pada kedua belah pihak adalah akad manfaat kerja saja, yakni manfaat hasil kerja yang bisa diberikan oleh pekerja untuk pengusaha dan dinilai dengan besaran upah tertentu yang telah disepakati.
Lantas bagaimana kesejahteraan para pekerja dapat dicapai jika pengusaha sama sekali tidak dibebankan hal tersebut? Dalam Islam negara bertanggungjawab penuh untuk memastikan kebutuhan dasar individu per individu rakyat. Setiap kepala keluarga  atau laki-lterpenuhinyaaki yang mempunyai kewajiban bekerja dipastikan mampu bekerja dan mempunyai modal untuk mendapatkan pekerjaan, pun difasilitasi kemudahan permodalan apabila dibutuhkan.

Tidak hanya itu, negara juga berkewajiban menyediakan lapangan pekerjaan dengan iklim usaha yang kondusif yang bisa dengan mudah ditemukan pada proyek-proyek negara dalam mengelola sumber daya alam dan energi. Tidak ada lagi sikap negara yang lebih mementingkan proyek padat modal daripada kebutuhan rakyat akan lapangan pekerjaan, mengingat seringkali proyek padat modal ini adalah pesanan investor yang menghendaki memasukkan pekerjanya sendiri dalam pengerjaan proyek.

Negara juga memastikan mekanisme jaminan sosial bagi seluruh rakyat, baik itu pekerja maupun pengusaha yakni menyediakan layanan kesehatan, pendidikan, serta sistem keamaan yang gratis dan berkualitas. Jika semua itu disediakan negara maka akan berkurang sangat banyak biaya hidup yang harus ditanggung individu pekerja, ia hanya tinggal memikirkan kebutuhan primer berupa sandang, pangan, dan papan.

Perlu diperhatikan pula bahwa negara dengan sistem Islam tidak akan memberlakukan kapitalisasi terhadap sandang, pangan, dan papan. Negara justru memberi subsidi pada pelaku di sektor ini untuk memastikan ketersediaannya mencukupi untuk seluruh rakyat.

Dengan pemaparan di atas maka menjadi jelas bahwa beban yang harus ditanggung baik pekerja maupun pengusaha akan jauh berkurang. Penerapan Islam tidak hanya mewujudkan kesejahteraan tapi juga keadilan bagi semua pihak baik pekerja maupun pengusaha. Maka jika kita menginginkan penyelesaian tuntas atas permasalahan turun-temurun buruh dan pengusaha yang begitu rumit ini sudah seharusnya kita kembali kepada penerapan syari’at Islam secara total pada level negara. Hadanallu waiyyakum.

Penulis:
Muntik A. Hidayah (Aktivis Kampus dan Pegiat Literasi)

[beritaislam.org]

Posting Komentar untuk "PHK di Mana-mana, Nasib Buruh yang Semakin Lusuh"

Banner iklan disini