PENUMPANG GELAP: Siapakah dia?
Beritaislam - Pierre Suteki [Prof. Suteki Guru Besar Undip]
Ada sebuah rekaman video yang mempertontonkan adegan adu argumentasi antara peserta aksi unjuk rasa dengan petugas kepolisian di Kota Semarang. Debat soal penumpang gelap yang terindikasi HTI. Aparat menuding bahwa ada penumpang gelap aksi yang ikut nimbrung mengusung khilafah, padahap menurut aparat khilafah itu bertentangan dengan Pancasila dan NKRI. Bila memungkinkan, simak baik-baik videonya. Siapa sebenarnya penumpang gelap? Mana HTI? Kata khilafah jelas ada di dalam kitab fikih siyasah.
Tidak ada ketentuan UU yg melarang penggunaan kata khilafah sebagai ajaran dan cita-cita umat Islam karena khilafah adalah ajaran Islam. Ajaran Islam jelas tidak mungkin bertentangan dengan Pancasila dan UUD NRI 1945. Yang penting adalah tidak ada penggunaan pemaksaan dan kekerasan apalagi makar. Mari bersama tingkatkan literasi dalam negara yang mengaku demokrasi ini.
Khilafah dikatakan sebagai bagian dari ajaran Islam mengingat khilafah merupakan bagian pokok yang dipelajari dalam KITAB FIKIH, misalnya di Kitab Fiqh Islam yang disusun oleh H Sulaiman Rasjid. Dalam Kitab itu Kitab Al-Khilafah dibahas pada Bab XV mulai halaman 495 s/d 507. Mendakwahkan ajaran Islam kepada siapa pun dengan baik justru melaksanakan nilai moral Pancasila khususnya nilai Ketuhanan Yang Maha Esa dan tidak dapat dikatakan MELANGGAR HUKUM. Organisasi keagamaan ataupun ormas boleh berusaha mengarahkan perilaku hidup manusia Indonesia menjadi insan yang beperilaku baik dengan cara mengajak untuk dekat dan merasa diawasi oleh Alloh Tuhannya. Bila unsur tauhid ini sudah tertanam dalam sanubari insan Indonesia, maka akan sangat mudah membentuk pribadi-pribadi yang baik. Pribadi baik inilah yang akan menjadi basis untuk dapat menegakkan hukum sebaik-baiknya. Sebaliknya, bila ajaran islam tidak diserukan, didakwahkan dengan baik maka mustahil manusia akan merasa takut kepada Alloh. Bila dengan Tuhan saja tidak takut, apalagi dengan manusia dan hukum-hukum ciptaannya. Di sini cikal bakal asal kejahatan itu tumbuh subur, termasuk tindak pidana korupsi.
Konstitusi bukan harga mati. Di mana pun negara bangsa dunia berada, tidak mengenal konstitusi harga mati karena perkembangan masyarakat sangat dinamis, baik di tingkat lokal maupun internasional. Perubahan internal dan eksternal negara bangsa akan sangat memungkinkan terjadinya perubahan sebuah konstitusi. Cepat atau lambat. Terhadap perubahan sebuah konstitusi tentu setiap komponon anak bangsa akan berbeda pandangan terkait dengan cara mengubah dan substansi yang akan diubahnya.
Memang benar, pada Pasal 37 UUD NRI 1945 telah ditegaskan bagaimana cara mengubah dan apa saja yang disepakati untuk tidak diubah, namun wacana untuk mengubah konstitusi jelas tidak dilarang. Ini adalah bagian dari hak rakyat atau kelompok rakyat untuk melalukan kritik yang bersifat membangun. Bukankah Indonesai tergolong sebagai negara yang disebut sebagai the open society dalam perpektif Karl Raimund Popper? Dalam negara the open society, maka kritik tidak boleh dianggap sebagai enemy, musuh yang harus diperangi, melainkan sebagai cara lain membangun.
Bila kritik yang membangun justru ditempatkan sebagai enemy, bahkan dikatan sebagai UJARAN KEBENCIAN, maka bisa dipastikan bahwa rezim yang tengah berkuasa adalah rezim yang represif. Lebih suka memukul dari pada merangkul. Lebih suka menggebuk dari pada mengajak berembuk. Akhirnya UU ITE berubah dari fungsinya untuk mengendalikan kejahatan di bidang transaksi elektronik menjadi semacam UU Subversif yang telah lama kita tinggalkan. Jadi, apa salahnya ormas Islam menyampaikan wacana ide, gagasan, perubahan Konstitusi? Tidak ada pasal UU Ormas yang dilanggar, karena tidak adanya upaya konkret untuk mengubah Konstitusi.
Hukum seringkali menjadi sebuah mantra ajaib yang dapat dipakai oleh penguasa sebagai sarana melanggengkan kekuasaannya (status quo). Mantra ini bisa mengoyak siapapun penghalang yang menghadang kekuasaan. Dengan dalih atas nama hukum semua mulut yang terbuka bisa dibungkam, tangan yang membentang bisa diringkus dan langkah kaki pun bisa dihentikan. Ini namanya hukum dipakai sebagai tameng kekuasaan yang biasa kita sebut sebagai alat legitimasi kekuasaan. Oleh Brian Z Tamanaha disebut sebagai THE THINNEST RULE OF LAW.
MANTRA ROL paling tipis ini akan lebih dahsyat lagi ketika diilhami oleh ideologi yang diklaim sebagai sosok mulia laksana berhala yang hendak disembah-sembah lantaran dianggap sebagai kalimah suci yang dianggap mampu mendatangkan kebaikan dan keburukan. Ideologi suci dan Mantra ROL telah berkolaborasi menikam jantung misi negara hukum itu sendiri. Misi negara hukum kita pun bukan sebatas mengagungkan tameng kekuasaan bernama BLACK LETTER LAW, namun lebih menuju pada penghormatan (to respect), pemenuhan (fulfill) dan perlindungan (protect) yang dirangkum dalam HUMAN RIGHT DIGNITY.
Lompatan raksasa dari misi ROL yang tertinggi adalah, tidak sekedar berorientasi pada legitimacy dan human right dignity tetapi pada misi untuk mewujudkan SOCIAL WELFARE. Ini yg disebut sbg THE THICKEST ROL. Hal ini tentu tdk mungkin bisa dicapai ketika jalan menuju NEGARA HUKUM justru secara paksa dibelokkan (BIFURKASI) ke arah NEGARA KEKUASAAN. Jurang tengah menanti jatuhnya negara hukum ketika pilar-pilar negara hukum mulai dirobohkan oleh penguasa yang hendak melanggengkan dan mengokohkan tampuk kepemimpinannya. Pembubaran ormas yang tidak ditempuh melalui DUE PROCESS OF LAW nampaknya turut berkontribusi menggiring negara hukum itu ke bibir jurang negara kekuasaan itu.
Terkait dengan aksi masa yang dijamin oleh Undang-undang, siapa pun boleh menyuarakan pendapatnya secara terbuka, yang penting tata cara penyampaiannya tetap harus diikuti. Aparat juga demikian, harus memahami hakikat unjuk rasa sebagai sarana bagi warga untuk menyuarakan isi hati dan pikirannya yang juga dijamin oleh Undang-undang. Jadi, aparat negarapun harus sadar terhadap ajaran Islam. Mendirikan khilafah tidak bisa hanya bicara orasi-orasi. Keberadaannya hanya akan eksis bila rakyat menghendaki dan militer mendukungnya. Jadi, tidak perlu dijadikan pertengkaran di jalanan. Biarkan unjuk rasa yg penting berjalan damai, tidak rusuh. Kewajiban polisi adalah mengamankan aksi, bukan melakukan persekusi dan represi, apalagi memanas-manasi keadaan aksi.
Bila saling memahami antara peserta aksi dengan aparat yang berwajib, lalu masihkah kita khawatir adanya PENUMPANG GELAP?
Tabik..!!!
[beritaislam.org]
Posting Komentar untuk "PENUMPANG GELAP: Siapakah dia?"