22 Juta Rakyat Kelaparan di Rezim Jokowi, Tapi Masih Sibuk Radikal Radikul
Foto busung lapar warga NTT [ilustrasi] |
Pada Rabu 06 Nov 2019, sejumlah media mengutip realese resmi dari ADB (Asian Development Bank) bersama International Food Policy Research Institute (IFPRI) yang didukung Kementerian Bappenas, yang mengeluarkan sebuah publikasi bertajuk 'Policies to Support Investment Requirements of Indonesia's Food and Agriculture Development During 2020-2045'.
Ternyata, dalam publikasi tersebut ADB menyebut setidaknya ada 22 juta orang di Indonesia menderita kelaparan sepanjang periode tahun 2016-2018. Periode ini adalah periode pemerintahan Jokowi.
Luar biasa radikal laporan ADB, Dalam executive summary-nya, riset memberikan catatan sejumlah besar orang masih terlibat dalam pertanian tradisional, terperangkap dalam kegiatan yang dibayar rendah dan kurang produktif. Banyak dari mereka tidak mendapatkan makanan yang cukup dan anak-anak mereka cenderung stunting, membuat mereka dalam lingkaran setan kemiskinan selama beberapa generasi. Pada 2016-2018, sekitar 22,0 juta orang di Indonesia masih menderita kelaparan.
Dilaporkan, Indonesia menempati urutan ke-65 di antara 113 negara dalam Indeks Keamanan Pangan Global (GFSI) yang diterbitkan oleh EIU [Economist Intelligence Unit]. Peringkat tersebut paling buncit di antara kawasan regional seperti Singapura (peringkat 1), Malaysia (peringkat 40), Thailand (peringkat 54), dan Vietnam (peringkat 62).
Temuan riset ADB ini membantah sejumlah narasi rezim yang sejak pelantikan kabinet Indonesia maju berulangkali mengumbar wacana radikalisme. Prioritas program rezim Jokowi seharusnya menghilangkan atau setidaknya mengurangi jumlah angka penduduk yang kelaparan. 20 juta penduduk mengalami kelaparan, itu artinya jika dibandingkan total angka penduduk Indonesia di 2019 sebesar 269 Juta Jiwa, angka kelaparan telah mencapai 13,5 % dari total penduduk.
Terang saja ini bukan prestasi, tapi sebuah ironi yang luar biasa kontras dengan berbagai klaim keberhasilan pemerintahan Jokowi. Alih-alih fokus menangani masalah kelaparan, kemiskinan, pengangguran, pertumbuhan yang macet dibawah angka 5 %, kesenjangan ekonomi, rezim justru sibuk jualan radikal radikul.
Banyak pengamat ekonomi menyebutkan isu radikalisme yang dipasarkan rezim Jokowi hanyalah upaya untuk mengalihkan isu atas sejumlah kegagalan dibidang Ekonomi. Laporan ADB ini semakin mengkonfirmasi, sejumlah proyek mercusuar Jokowi khususnya proyek infrastruktur ternyata tidak berkorelasi positif untuk mengatasi masalah ekonomi rakyat khususnya masalah kemiskinan dan kelaparan.
Jika dikaitkan dengan peta strategi OBOR China, proyek infrastruktur Jokowi hanya menjamin kelancaran arus barang dan jasa, dari dan ke China, untuk menunjang ambisi hegemoni China yang ingin mengulang sukses jalur sutera di masa lalu. Melalui proyek OBOR ini, China mendapat jaminan serapan pasar untuk produk industri mereka yang melimpah, mendapat jaminan bahan baku dari Indonesia sekaligus mengekspor tenaga kerja China ke Indonesia dengan berbagai modus kerjasama dengan Indonesia.
Proyek infrastruktur Jokowi hanya menguntungkan industri China karena pasar domestik dibuka lebar untuk ekspansi produk China, menyerap tenaga kerja China, dan jaminan bahan baku bagi industri China. Proyek infrastruktur Jokowi tak menguntungkan rakyat, pertanian rakyat, industri rakyat, manufaktur dalam negeri.
Siapapun yang memilih Jokowi, memenangkan Jokowi, ikut mendukung dan melindungi kebijakan Jokowi, maka mereka harus ikut bertanggungjawab atas 20 juta rakyat yang menderita kelaparan. Siapapun yang berteriak radikal radikul, lebih baik tutup mulut dan segera memberi argumentasi kenapa ada 20 juta rakyat kelaparan ?
Tak usah menutupi ketidakmampuan mengelola pemerintahan dengan teriakan radikal radikul. Malu dilihat negeri tetangga. Mereka sudah melangkah jauh, negeri ini malah sibuk teriak radikal radikul. [].
Posting Komentar untuk "22 Juta Rakyat Kelaparan di Rezim Jokowi, Tapi Masih Sibuk Radikal Radikul"