Merawat Papua
Oleh Ainul Mizan
Baru-baru ini ruang baca dan ruang dengar kita dihiasi dengan topik mengenai Tanah Papua yang
lagi membara. Dari isu Rasisme yang memicu kerusuhan hingga dikabarkan munculnya isu referendum. Desakan referendum itu disuarakan oleh ratusan mahasiswa dari Papua yang menggelar
aksi unjuk rasa di depan Mabes TNI dan Istana Negara, Jakarta Pusat, pada Rabu (28/8/2019).
Bahkan para pendemo berani mengibarkan Bendera Bintang Kejora ( www.suara.com , 30 Agustus
2019).
Persoalan Papua bukan hanya sekedar kerusuhan dan keamanan. Adanya tuntutan referendum
memberi sinyal serius persoalan di Papua, yang tidak bisa diselesaikan hanya dengan pembangunan
insfrastruktur. Meminjam istilah dari Gubernur Papua, bahwa orang Papua membutuhkan kehidupan.
Ya kehidupan yang layak baik dari segi ekonomi juga pendidikannya. Nilai HDI (Human
Development Index) di periode 2010 – 2015 untuk Papua adalah sebesar 57,25. Sedangkan rata –
rata nilai HDI di Indonesia adalah 69,55.
Nilai HDI menggambarkan pencapaian rata – rata warga di suatu negara dalam hal pembangunan
manusia. Variabel yang diukur di antaranya kesehatan, harapan hidup, pendidikan dan standar
kehidupan.
Tentunya rendahnya nilai HDI di Papua tidak bisa diselesaikan dengan pembangunan insfrastruktur.
Rendahnya taraf pendidikan dan ekonominya menjadikan rakyat Papua kalah bersaing. Angka
kemiskinan di Papua pada maret 2019 adalah 27,53 persen. Sedangkan angka kemiskinan nasional
berada pada angka 9,47 persen ( www.databoks.katadata.co.id , 17 Juli 2019). Hal ini mengakibatkan
tingginya anak putus sekolah di Papua. Untuk SD/sederajat sekitar 2,21 %. Untuk SMP/sederajat
yakni 6,05 % dan SMA/sederajat yakni 5,41 % ( www.databoks.katadata.co.id , 29 Agustus 2019).
Adalah wajar jika kemudian bila dikatakan bahwa pembangunan Trans Papua bukanlah untuk rakyat
Papua. Orang – orang Papua tidak pernah melewati jalan Trans Papua, tegas Gubernur Papua, Lukas
Enembe (www.aceh.tribunnews.com, Kamis 22 Agustus 2019).
Sementara di satu sisi kekayaan alam sangatlah melimpah di Papua. Potensi kekayaan alam Papua
bisa menghasilkan hingga Rp 5000 trilyun. Belum lagi kekayaan alam yang dikeruk oleh Freeport
bernilai sekitar Rp 8000 trilyun ( www.theglobal-review.com , 29 Desember 2017).
Di bidang pertambangan, Papua memiliki potensi 2,5 milyar ton bijih tembaga dan emas. Semuanya
di wilayah konsesi Freeport. Bahan tambang lain seperti batu bara sebesar 6,3 juta ton, marmer
sebanyak 35 juta ton, barn gamping di areal seluas 190.000 ha dan yang lainnya.
Di bidang kehutanan. Hutan di Papua mencapai luas 31.079.185,77 ha. Hutan seluas itu memberi
ketersediaan 1.714 m kubik kayu bangunan, 1.198 m kubik kayu balok olahan, 88.050 m kubik
triplek, dan kayu olahan sebesar 45.289 m kubik.
Di bidang perikanan, rata – rata produksi ikan di Papua sebesar 1.404.220 ton per tahun. Hal ini
ditunjang dengan panjangnya garis pantai yang ada di Papua. Belum lagi kekayaan alam yang
bersumber dari perkebunan, pertanian, dan peternakan ( www.skornews.com , 11 Juli 2014).
Dengan kata lain, kekayaan alam yang disumbangkan Papua untuk Indonesia itu sedemikian besar.
Akan tetapi rakyat Papua masih di bawah garis kemiskinan.
Berikut ini adalah beberapa langkah yang bisa dilakukan guna merawat dan mensejahterakan Papua.
Pertama, dalam hal pengelolaan kekayaan alam. Islam memandang bahwa kekayaan alam termasuk
ke dalam komoditas kepemilikan umum. Dengan demikian, negara tidak berhak untuk
memprivatisasi dengan dalih apapun. Kalaupun di dalam pengelolaan kekayaan alam tersebut
membutuhkan keahlian dan keterlibatan sebuah perusahaan, sifatnya bukan sebagai investor. Jadi
keterlibatan sebuah perusahaan dalam eksplorasi dan eksploitasi kekayaan alam adalah sebagai akad
kerja.
Hak konsesi pengelolaan tambang emas di Papua oleh Freeport merupakan bentuk pengingkaran
terhadap hak kepemilikan rakyat atas kekayaan alam tersebut. Seharusnya hasil kekayaan alam itu
bisa dinikmati untuk kesejahteraan rakyat Indonesia.
Kedua, dalam hal pemanfaatan hasil kekayaan alam. Sesungguhnya kekayaan alam itu diolah untuk
dikembalikan bagi kesejahteraan rakyat.
Di dalam Islam, negara berkewajiban memperhatikan kebutuhan – kebutuhan masyarakat yang
menjadi tanggung jawabnya. Bidang pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan ekonomi menjadi
tanggungan negara.
Adalah Rasul SAW sangat memperhatikan pendidikan bagi kaum muslimin di Madinah. Beliau
memberikan syarat kebebasan tawanan perang orang Kafir dengan mengajari 10 kaum muslimin.
Begitu pula kebijakan Kholifah Umar ra dalam bidang kesehatan, beliau banyak mendirikan klinik
dan rumah sakit.
Adapun dalam bidang kesejahteraan ekonomi, negara bisa memberikan bantuan bagi rakyat yang
mau bekerja keras, akan tetapi terkendala modal. Negara bisa memberikan tanah secara cuma – cuma
kepada yang sanggup menggarapnya.
Untuk mengoptimalkan pelayanan kepada masyarakat di bidang ekonomi, pendidikan dan kesehatan,
negara akan membangun banyak sarana dan prasarana yang menunjang. Di antara sarana prasarana
tersebut misalnya pembangunan jalan, jembatan, gedung sekolah, klinik – klinik dan lainnya. Jadi
pembangunan dilakukan langsung menyentuh kebutuhan masyarakat.
Ketiga, dalam hal prinsip manajemen ekonomi dan pemerataan kesejahteraan, yakni negara
membangun suatu daerah tidak didasarkan kepada besarnya hasil kekayaan alam, akan tetapi
didasarkan kepada kebutuhan.
Bisa jadi suatu daerah yang pendapatannya rendah, akan tetapi kebutuhannya besar. Dalam konteks
ini, sebagaimana Timor Timur. Lepasnya Tim – Tim tidak bisa terlepas dari propaganda barat.
Dihembuskanlah wacana di tengah – tengah rakyat Indonesia bahwa lepasnya Tim – Tim itu biar
tidak menjadi beban bagi Indonesia.
Bisa jadi suatu daerah memiliki kekayaan alam melimpah, akan tetapi rakyatnya hidup dalam
kesengsaraan. Kebutuhan yang besar untuk hidup berkesejahteraan, tentunya harus menjadi poin
penting yang menjadi keseriusan negara.
Keempat, negara harus berani bertindak tegas terhadap setiap gerakan separatisme yang mengail di
air yang keruh. Kemiskinan yang diderita oleh Papua akan menjadi senjata ampuh untuk melakukan
propaganda guna melepaskan Papua dari Indonesia.
Ketegasan penguasa terhadap setiap upaya yang akan melepaskan satu wilayah negeri ini, akan
mampu dilahirkan tatkala memang penguasa telah melakukan upaya untuk mensejahterakan
kehidupan rakyatnya.
Kelima, yang menjadi pokok persoalan dari ruwetnya persoalan di Papua khususnya dan secara
umum di Indonesia adalah masih bercokolnya penerapan Ideologi Kapitalisme – Liberal. Tentunya
dalam hal demikian, butuh kebijakan yang berani, yakni membuang Ideologi Kapitalisme dan
mengambil Ideologi Islam untuk diterapkan secara praktis.
Dengan begitu, negeri ini akan mampu berdiri kokoh di atas kaki sendiri. Tidak akan tunduk kepada
kemauan dan konspirasi negara – negara penjajah. Penguasa negeri ini akan berani melepaskan diri
dari dominasi barat maupun timur, yakni dominasi Amerika Serikat dan China.
Disinyalir bahwa rencana pemindahan ibukota ke Kalimantan Timur mengikuti arahan China yakni
mendekati jalur sutra dalam proyek OBOR China. Padahal untuk memindahkan ibu kota tersebut
membutuhkan dana sekitar 400 trilyun rupiah ( www.liputan6.com , 30 April 2019). Tentunya dana
yang besar tersebut, salah satu sumber terbesarnya adalah dari utang. Bila utangnya itu didapat dari
proyek OBOR China, dan pemerintah Indonesia tidak bisa melunasinya, maka Ibu kota di Kaltim
tersebut menjadi milik China. Seharusnya Indonesia bisa mengambil pelajaran dari Sri Lanka yang
terbelit utang melalui OBOR harus merelakan pelabuhannya menjadi milik China.
Tentu saja, seorang penguasa yang sudah mencampakkan Ideologi Kapitaslisme dan menerapkan
Islam akan mengambil posisi yang tegas yaitu tidak mengikuti arahan negara penjajah dan serius
dalam menangani dan merawat kesejahteraan Papua sesuai dengan pandangan Islam.
Walhasil, hanya dengan penerapan Syariat Islam dalam bingkai al-Khilafah yang akan mampu
menandingi hegemoni negara – negara penjajah dan yang akan menghimpun semua potensi baik
SDM (Sumber Daya Manusia)maupun SDA (Sumber Daya Alam) bagi kesejahteraan rakyatnya.
# Penulis Tinggal di Malang
Biodata Penulis
Nama : Ainul Mizan, S.Pd
Profesi : Guru
Alamat : Merjosari, Kecamatan Lowokwaru, Malang. Jawa Timur
Baru-baru ini ruang baca dan ruang dengar kita dihiasi dengan topik mengenai Tanah Papua yang
lagi membara. Dari isu Rasisme yang memicu kerusuhan hingga dikabarkan munculnya isu referendum. Desakan referendum itu disuarakan oleh ratusan mahasiswa dari Papua yang menggelar
aksi unjuk rasa di depan Mabes TNI dan Istana Negara, Jakarta Pusat, pada Rabu (28/8/2019).
Bahkan para pendemo berani mengibarkan Bendera Bintang Kejora ( www.suara.com , 30 Agustus
2019).
Persoalan Papua bukan hanya sekedar kerusuhan dan keamanan. Adanya tuntutan referendum
memberi sinyal serius persoalan di Papua, yang tidak bisa diselesaikan hanya dengan pembangunan
insfrastruktur. Meminjam istilah dari Gubernur Papua, bahwa orang Papua membutuhkan kehidupan.
Ya kehidupan yang layak baik dari segi ekonomi juga pendidikannya. Nilai HDI (Human
Development Index) di periode 2010 – 2015 untuk Papua adalah sebesar 57,25. Sedangkan rata –
rata nilai HDI di Indonesia adalah 69,55.
Nilai HDI menggambarkan pencapaian rata – rata warga di suatu negara dalam hal pembangunan
manusia. Variabel yang diukur di antaranya kesehatan, harapan hidup, pendidikan dan standar
kehidupan.
Tentunya rendahnya nilai HDI di Papua tidak bisa diselesaikan dengan pembangunan insfrastruktur.
Rendahnya taraf pendidikan dan ekonominya menjadikan rakyat Papua kalah bersaing. Angka
kemiskinan di Papua pada maret 2019 adalah 27,53 persen. Sedangkan angka kemiskinan nasional
berada pada angka 9,47 persen ( www.databoks.katadata.co.id , 17 Juli 2019). Hal ini mengakibatkan
tingginya anak putus sekolah di Papua. Untuk SD/sederajat sekitar 2,21 %. Untuk SMP/sederajat
yakni 6,05 % dan SMA/sederajat yakni 5,41 % ( www.databoks.katadata.co.id , 29 Agustus 2019).
Adalah wajar jika kemudian bila dikatakan bahwa pembangunan Trans Papua bukanlah untuk rakyat
Papua. Orang – orang Papua tidak pernah melewati jalan Trans Papua, tegas Gubernur Papua, Lukas
Enembe (www.aceh.tribunnews.com, Kamis 22 Agustus 2019).
Sementara di satu sisi kekayaan alam sangatlah melimpah di Papua. Potensi kekayaan alam Papua
bisa menghasilkan hingga Rp 5000 trilyun. Belum lagi kekayaan alam yang dikeruk oleh Freeport
bernilai sekitar Rp 8000 trilyun ( www.theglobal-review.com , 29 Desember 2017).
Di bidang pertambangan, Papua memiliki potensi 2,5 milyar ton bijih tembaga dan emas. Semuanya
di wilayah konsesi Freeport. Bahan tambang lain seperti batu bara sebesar 6,3 juta ton, marmer
sebanyak 35 juta ton, barn gamping di areal seluas 190.000 ha dan yang lainnya.
Di bidang kehutanan. Hutan di Papua mencapai luas 31.079.185,77 ha. Hutan seluas itu memberi
ketersediaan 1.714 m kubik kayu bangunan, 1.198 m kubik kayu balok olahan, 88.050 m kubik
triplek, dan kayu olahan sebesar 45.289 m kubik.
Di bidang perikanan, rata – rata produksi ikan di Papua sebesar 1.404.220 ton per tahun. Hal ini
ditunjang dengan panjangnya garis pantai yang ada di Papua. Belum lagi kekayaan alam yang
bersumber dari perkebunan, pertanian, dan peternakan ( www.skornews.com , 11 Juli 2014).
Dengan kata lain, kekayaan alam yang disumbangkan Papua untuk Indonesia itu sedemikian besar.
Akan tetapi rakyat Papua masih di bawah garis kemiskinan.
Berikut ini adalah beberapa langkah yang bisa dilakukan guna merawat dan mensejahterakan Papua.
Pertama, dalam hal pengelolaan kekayaan alam. Islam memandang bahwa kekayaan alam termasuk
ke dalam komoditas kepemilikan umum. Dengan demikian, negara tidak berhak untuk
memprivatisasi dengan dalih apapun. Kalaupun di dalam pengelolaan kekayaan alam tersebut
membutuhkan keahlian dan keterlibatan sebuah perusahaan, sifatnya bukan sebagai investor. Jadi
keterlibatan sebuah perusahaan dalam eksplorasi dan eksploitasi kekayaan alam adalah sebagai akad
kerja.
Hak konsesi pengelolaan tambang emas di Papua oleh Freeport merupakan bentuk pengingkaran
terhadap hak kepemilikan rakyat atas kekayaan alam tersebut. Seharusnya hasil kekayaan alam itu
bisa dinikmati untuk kesejahteraan rakyat Indonesia.
Kedua, dalam hal pemanfaatan hasil kekayaan alam. Sesungguhnya kekayaan alam itu diolah untuk
dikembalikan bagi kesejahteraan rakyat.
Di dalam Islam, negara berkewajiban memperhatikan kebutuhan – kebutuhan masyarakat yang
menjadi tanggung jawabnya. Bidang pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan ekonomi menjadi
tanggungan negara.
Adalah Rasul SAW sangat memperhatikan pendidikan bagi kaum muslimin di Madinah. Beliau
memberikan syarat kebebasan tawanan perang orang Kafir dengan mengajari 10 kaum muslimin.
Begitu pula kebijakan Kholifah Umar ra dalam bidang kesehatan, beliau banyak mendirikan klinik
dan rumah sakit.
Adapun dalam bidang kesejahteraan ekonomi, negara bisa memberikan bantuan bagi rakyat yang
mau bekerja keras, akan tetapi terkendala modal. Negara bisa memberikan tanah secara cuma – cuma
kepada yang sanggup menggarapnya.
Untuk mengoptimalkan pelayanan kepada masyarakat di bidang ekonomi, pendidikan dan kesehatan,
negara akan membangun banyak sarana dan prasarana yang menunjang. Di antara sarana prasarana
tersebut misalnya pembangunan jalan, jembatan, gedung sekolah, klinik – klinik dan lainnya. Jadi
pembangunan dilakukan langsung menyentuh kebutuhan masyarakat.
Ketiga, dalam hal prinsip manajemen ekonomi dan pemerataan kesejahteraan, yakni negara
membangun suatu daerah tidak didasarkan kepada besarnya hasil kekayaan alam, akan tetapi
didasarkan kepada kebutuhan.
Bisa jadi suatu daerah yang pendapatannya rendah, akan tetapi kebutuhannya besar. Dalam konteks
ini, sebagaimana Timor Timur. Lepasnya Tim – Tim tidak bisa terlepas dari propaganda barat.
Dihembuskanlah wacana di tengah – tengah rakyat Indonesia bahwa lepasnya Tim – Tim itu biar
tidak menjadi beban bagi Indonesia.
Bisa jadi suatu daerah memiliki kekayaan alam melimpah, akan tetapi rakyatnya hidup dalam
kesengsaraan. Kebutuhan yang besar untuk hidup berkesejahteraan, tentunya harus menjadi poin
penting yang menjadi keseriusan negara.
Keempat, negara harus berani bertindak tegas terhadap setiap gerakan separatisme yang mengail di
air yang keruh. Kemiskinan yang diderita oleh Papua akan menjadi senjata ampuh untuk melakukan
propaganda guna melepaskan Papua dari Indonesia.
Ketegasan penguasa terhadap setiap upaya yang akan melepaskan satu wilayah negeri ini, akan
mampu dilahirkan tatkala memang penguasa telah melakukan upaya untuk mensejahterakan
kehidupan rakyatnya.
Kelima, yang menjadi pokok persoalan dari ruwetnya persoalan di Papua khususnya dan secara
umum di Indonesia adalah masih bercokolnya penerapan Ideologi Kapitalisme – Liberal. Tentunya
dalam hal demikian, butuh kebijakan yang berani, yakni membuang Ideologi Kapitalisme dan
mengambil Ideologi Islam untuk diterapkan secara praktis.
Dengan begitu, negeri ini akan mampu berdiri kokoh di atas kaki sendiri. Tidak akan tunduk kepada
kemauan dan konspirasi negara – negara penjajah. Penguasa negeri ini akan berani melepaskan diri
dari dominasi barat maupun timur, yakni dominasi Amerika Serikat dan China.
Disinyalir bahwa rencana pemindahan ibukota ke Kalimantan Timur mengikuti arahan China yakni
mendekati jalur sutra dalam proyek OBOR China. Padahal untuk memindahkan ibu kota tersebut
membutuhkan dana sekitar 400 trilyun rupiah ( www.liputan6.com , 30 April 2019). Tentunya dana
yang besar tersebut, salah satu sumber terbesarnya adalah dari utang. Bila utangnya itu didapat dari
proyek OBOR China, dan pemerintah Indonesia tidak bisa melunasinya, maka Ibu kota di Kaltim
tersebut menjadi milik China. Seharusnya Indonesia bisa mengambil pelajaran dari Sri Lanka yang
terbelit utang melalui OBOR harus merelakan pelabuhannya menjadi milik China.
Tentu saja, seorang penguasa yang sudah mencampakkan Ideologi Kapitaslisme dan menerapkan
Islam akan mengambil posisi yang tegas yaitu tidak mengikuti arahan negara penjajah dan serius
dalam menangani dan merawat kesejahteraan Papua sesuai dengan pandangan Islam.
Walhasil, hanya dengan penerapan Syariat Islam dalam bingkai al-Khilafah yang akan mampu
menandingi hegemoni negara – negara penjajah dan yang akan menghimpun semua potensi baik
SDM (Sumber Daya Manusia)maupun SDA (Sumber Daya Alam) bagi kesejahteraan rakyatnya.
# Penulis Tinggal di Malang
Biodata Penulis
Nama : Ainul Mizan, S.Pd
Profesi : Guru
Alamat : Merjosari, Kecamatan Lowokwaru, Malang. Jawa Timur
Posting Komentar untuk "Merawat Papua"