Imam Syafi'i, Imam Maliki, Imam Hanafi, Imam Hambali Semua Mengharamkan Korupsi! Kecuali Imam Nahrawi
Imam Syafi'i, Imam Maliki, Imam Hanafi, Imam Hambali Semua Mengharamkan Korupsi! Kecuali Imam Nahrawi, eh ternyata sebuah meme poster mahasiswa :D Lucu juga
KORUPTOR : ANTARA PSIKOLOGI ABNORMAL DAN PENGKHIANATAN ATAS RAKYAT DAN AGAMA
Oleh : Ahmad Sastra
Dosen Psikologi Beragama
Kasus korupsi yang menjerat menteri pemuda dan oleh raga, Imam Nahrawi hanya menambah deretan panjang budaya korupsi di kalangan elit pemimpin di negeri ini. Lingkaran setan korupsi ini hampir tak pernah ada ujungnya, mengapa ?
Perilaku koruptif bukanlah sekedar sebagai kelainan mental, melainkan sebuah bentuk pengkhianatan atas amanah rakyat, negara dan agama. Bagaimana tidak, para pejabat disumpah dengan menggunakan kitab suci untuk mengabdi kepada kepentingan rakyat, namun setelah jadi pejabat justru maling uang rakyat.
Kemana kitab suci itu hendak disembunyikan, apa pula jawaban kelak dihadapan Tuhan. Maka pejabat yang korupsi adalah pejabat bermental pengkhianat. Partai yang mendukung pejabat korupsi adalah partai pengkhianat rakyat. Negara yang memanjakan koruptor adalah negara pengkhianat rakyat. Jika rakyat terzolimi, maka tunggulah balasan pedih dari Allah.
Perilaku menyimpang korupsi uang rakyat oleh pejabat yang mengemban amanat rakyat adalah sebuah kejahatan besar. Sebab semestinya seorang pemimpin adalah yang sengsara karena merasakan penderitaan rakyat, bukan justru mengkorup uang rakyat yang dipimpinnya. Mental korup bagi pemimpin selain seperti colonial juga merupakan bentuk pengkhianatan.
Perilaku menyimpang korupsi disebut sebagai budaya dikarenakan perilaku ini telah menjadi semacam tradisi dalam politik demokrasi. Sejak awal, sistem ini telah sarat dengan politik uang. Akibatnya para pelaku politik terjerat sifat koruptif yang tidak lagi bisa dihilangkan.
Sebuah perilaku disebut sebagai budaya jika telah mengurat saraf sebagai kebiasaan, dilakukan oleh para elit atau pemimpin dan didukung oleh sebuah aturan. Dengan tiga syarat ini, maka antara sistem politik demokrasi dan budaya korupsi memiliki korelasi yang sangat signifikan. Demokrasi secara genetik membawa sifat kleptokratif. Demokrasi sejak awal telah membudayakan uang haram sebagai alat untuk meraih kekuasaan.
Bisa jadi sistem demokrasi yang bersifat antroposentris yang meniadakan peran Tuhan telah melahirkan politik kleptokrasi, dimana mencuri uang rakyat dianggap sebagai budaya politik yang dilakukan secara kolektif untuk saling mendukung dan melindungi. Mencuri dan membagi uang dilakukan semudah membalik telapak tangan, tanpa merasa berdosa.
Kleptonamia adalah sejenis gangguan psikologis ketika seseorang tidak mampu menguasai diri saat muncul keinginan untuk mencuri barang orang lain, meskipun barang itu tak bernilai harganya. Keinginan kuat ini lantas menjadi sebuah kebiasaan mencuri barang orang tanpa merasa sebagai sebuah kesalahan.
Kleptomania lebih sering tidak direncanakan, namun merupakan tindakan sesaat saja. Kleptomania terdiri dari dua kata bentukan, klepto yang artinya mencuri dan mania yang artinya gegemaran atau kecenderungan yang berlebihan. Secara empirik penyakit kleptomania ini bisa menjangkiti manusia sejak usia dini. Demokrasi dengan karakteristik politik padat modal berpotensi kuat membentuk mental kleptomania dari tingkat grassroots hingga pejabat tertinggi.
Menurut Joseph A. Sehmeter, demokrasi merupakan suatu perencanaan institusional untuk mencapai keputusan politik individu guna memperoleh kekuasaan dengan memutuskan cara perjuangan kompetitif atas suara rakyat. Politik demokrasi secara esensi tidak mengenal peran Tuhan dalam urusan negara (sekuler).
Dalam sistem demokrasi setiap orang memiliki hak yang sama untuk memperoleh kekuasaan, tanpa ada standar moralitas tertentu. Akibatnya sistem ini telah berubah menjadi ajang akrobat politik bagi hasrat kekuasaan orang-orang yang mampu membeli suara rakyat. Mereka tidak merasa takut, karena mayoritas pelaku demokrasipun melakukan money politic yang sama demi pertarungan meraih singgasana kekuasaan.
Politik transaksional inilah yang kemudian mengkibatkan munculnya praktek korupsi sebagai cara untuk menutupi biaya politik ketika kampanye. Dari sinilah politik demokrasi menjelma menjadi politik kleptokrasi.
Sebenarnya, secara psikologis, penderita kleptomania akan merasakan ketegangan subyektif sesaat sebelum mencuri, namun akan merasakan rasa puas dan lega setelah berhasil mencuri. Penderita kleptomania sepenuhnya menyadari bahwa perbuatannya adalah sebuah kesalahan, namun dirinya tak mampu mengendalikan dirinya saat hasrat itu muncul. Perasaan sedihpun menghantui seorang kleptomania, termasuk para koruptor.
Begitupun dalam politik demokrasi, mayoritas koruptor sangat memahami dan menyadari akan kesalahan perilaku korupnya. Namun dorongan nafsunya melampaui rasionalitas dan kesadarannya. Akan muncul perasaan takut sesaat sebelum korupsi, namun ketika berhasil korupsi, dirinya merasa aman karena toh banyak koleganya yang melakukan hal yang sama. Jika ketahuan, semua juga akan terlibat. Yang tidak mungkin hilang adalah ketakutan spiritualnya, meski tetap bisa terkalahkan oleh nafsunya.
Sistem demokrasi yang memberikan peluang lebar untuk melakukan praktek suap demi meraih simpati dan kekuasaan berkontribusi kuat bagi lahirnya kleptokrasi di negeri ini. Bahkan lebih parah, jika para penguasa telah bersepakat untuk merumuskan undang-undang yang hanya menguntungkan mereka sendiri dan justru merugikan rakyat.
Hal sangat mudah dilakukan, karena perundang-undangan bisa lahir dari kesepakatan diantara mereka sendiri. Jika diibaratkan, kesepakatan yang lahir dari sekelompok maling akan menghasilkan aturan dan kesepakatan jahat.
Dalam laporan NCBI pada tahun 2011, kleptomania merupakan gangguan kejiwaan yang menjangkiti 6 dari 1000 orang diseluruh dunia. Di Amerika sendiri pengidap penyakit ini sekitar 1,2 juta orang. Kleptomania adalah sejenis gangguan jiwa yang diakibatkan oleh gangguan biologis maupun psikologis. Secara psikologis, penderita kleptomania bisa jadi karena salah asuh, meskipun penyakit ini masih belum ditemukan penyebab utamanya hingga hari ini.
Secara naluriah, setiap orang memang telah diberikan kecenderungan untuk memiliki segala sesuatu dalam hidup ini, baik barang kecil maupun barang yang berharga tinggi. Kecenderungan ini setiap saat akan muncul dalam diri seseorang. Itulah mengapa penyakit kleptomania ini sangat disadari oleh penderitanya.
Hanya saja dalam kasus kleptomania, dorongan naluri lebih dominan dibandingkan rasionalitasnya. Secara naluriah, penyakit kleptomania mirip dengan kecenderungan makan seekor binatang. Sebab binatang jika hendak makan, maka dia akan mengikuti nalurinya, dimana ada makanan disitu ia makan. Tak lagi berfikir milik siapa makanan itu, sebab binatang tidak diberikan akal oleh Allah.
Secara internal pola penyembuhan penyakit jiwa ini adalah dengan munculnya pemahaman, kesadaran, komitmen serta konsistensi spiritual. Potensi internal ini mesti ditumbuhkan dalam setiap diri secara terus menerus. Secara eksternal, penyakit jiwa ini akan bisa disembuhkan dengan adanya komunitas yang terus mendukung penyembuhannya dan selalu mengingatkan jika dilakukan atau sering disebut sebagai kontrol masyarakat.
Lebih fundamental lagi adalah harus ada sistem politik yang berdasarkan nilai-nilai spiritual. Sayangnya justru sistem demokrasi yang membuka peluang lebar bagi tumbuhkembang budaya korupsi terus dipertahankan.
Maka, hukuman apa yang layak untuk seorang pengkhianat ???
(AhmadSastra,KotaHujan,23/09/19 : 09.48 WIB)
Posting Komentar untuk "Imam Syafi'i, Imam Maliki, Imam Hanafi, Imam Hambali Semua Mengharamkan Korupsi! Kecuali Imam Nahrawi"