Politik Maling Teriak Maling
Ki Tanggul Bengawan Solo
Kontroversi khilafah ssbagai sistem ketatanegaraan yang adaptif dengan Indonesia tak kunjung usai. Berakar dari problem akut dan sistemik yang ditampakkan secara kasat mata.
Dipicu oleh tampilan Pilpres sebagai kontestasi politik dambaan publik yang diharap melahirkan perubahan Ganti Rezim. Alias Ganti Presiden. Meski Bak Gayung tak Bersambut. Dibuat semakin tambah miris dengan pemandangan koalisi kontroversi.
Dari Teuku Umar dengan Nasi Goreng. Dilanjut Gondangdia dengan manuver politik Nasi Uduk. Tidak ada lawan sejati. Yang ada adalah lawan dan kawan karena kepentingan.
Inilah sekelumit dari perjalanan Demokrasi yang dianggap belum final berevolusi. Mencengkeram benak para pengemban dan korban dari para kapitalis penggenggam konglomerasi.
Tidak penting beberapa korban aksi 21 - 22 Mei 2019. Tidak penting pula sekitar 700 orang KPPS meninggal dunia. Tanpa usut tanpa investigasi apalagi interogasi. Seolah semua saluran kewenangan atas itu disumbat. Semuanya bisa dilupakan dengan bagi bagi kue kekuasaan. Segalanya bisa sirna dengan bargaining of power.
Ada pula yang naif membangun narasi segmental. Bahwa ini adalah bagian dari kelihaian strategi kelas tinggi seekor Macan. Yang ternyata hanyalah seekor Kucing. Karena bisa mengenyahkan beberapa ekor macan lainnya. Yang dulu berkelindan dalam istana kekuasaan.
Mengendalikan seluruh arah kemauan anak tuan bonekanya. Sekarang berubah, karena Ibunda Ratu kegelapan menjatuhkan keputusan pilihan lain. Macan yang sebenarnya kucing itu setelah dilecehkan habis habisan di depan forum, akhirnya nuruti kemauan Ibunda Ratu Kegelapan. Atas nama manuver politik kelas tinggi. Begitu klaimnya.
Busyeet. Logika membongkar konspirasi seperti inipun jangan jangan disangka sebagai penumpang gelap. Ekspresi jeritan rakyatpun tidak penting sepenting negoisasi bagi bagi posisi.
Di sisi lain, kecamuk politik pragmatis sedang mencari kambing hitam. Bukan malah menyadari kebobrokan internal dan personalnya. Buah hasil dari sengkarut problem sistemik negeri.
Ironisnya justru menggunakan kacamata kuda arahan penjajah. Melepaskan jati diri sebagai seorang muslim sejati. Islam sebagai ajaran dibahas penuh kebencian dan kontradiksi. Seolah sudah punah kepercayaan dan keberdayaan diri. Narasi adu domba begitu kental terasa. Islam sebagai seperangkat nilai yang belum dipraktekkan secara komprehensif dijadikan tertuduh. Dari segala kepongahan kekuasan dorongan nafsu materi. Di bawah kepemimpinan ideologi Keuangan yang Maha Kuasa. Alergi terhadap setiap istilah Syariah dan Khilafah. Ini yang terjadi akhir akhir. Sebuah rekayasa pengalihan politik transaksional dengan menjadikan sebuah entitas bernama HTI sebagai stempel dari seluruh alamat kesalahan. Merebut aspirasi rakyat melalui pesta Demokrasi TSMB menuju kesepakatan koalisi politik kepentingan golongan. Layaknya seperti pameo Maling Teriak Maling. Allahu 'alam bis showab.
Kontroversi khilafah ssbagai sistem ketatanegaraan yang adaptif dengan Indonesia tak kunjung usai. Berakar dari problem akut dan sistemik yang ditampakkan secara kasat mata.
Dipicu oleh tampilan Pilpres sebagai kontestasi politik dambaan publik yang diharap melahirkan perubahan Ganti Rezim. Alias Ganti Presiden. Meski Bak Gayung tak Bersambut. Dibuat semakin tambah miris dengan pemandangan koalisi kontroversi.
Dari Teuku Umar dengan Nasi Goreng. Dilanjut Gondangdia dengan manuver politik Nasi Uduk. Tidak ada lawan sejati. Yang ada adalah lawan dan kawan karena kepentingan.
Inilah sekelumit dari perjalanan Demokrasi yang dianggap belum final berevolusi. Mencengkeram benak para pengemban dan korban dari para kapitalis penggenggam konglomerasi.
Tidak penting beberapa korban aksi 21 - 22 Mei 2019. Tidak penting pula sekitar 700 orang KPPS meninggal dunia. Tanpa usut tanpa investigasi apalagi interogasi. Seolah semua saluran kewenangan atas itu disumbat. Semuanya bisa dilupakan dengan bagi bagi kue kekuasaan. Segalanya bisa sirna dengan bargaining of power.
Ada pula yang naif membangun narasi segmental. Bahwa ini adalah bagian dari kelihaian strategi kelas tinggi seekor Macan. Yang ternyata hanyalah seekor Kucing. Karena bisa mengenyahkan beberapa ekor macan lainnya. Yang dulu berkelindan dalam istana kekuasaan.
Mengendalikan seluruh arah kemauan anak tuan bonekanya. Sekarang berubah, karena Ibunda Ratu kegelapan menjatuhkan keputusan pilihan lain. Macan yang sebenarnya kucing itu setelah dilecehkan habis habisan di depan forum, akhirnya nuruti kemauan Ibunda Ratu Kegelapan. Atas nama manuver politik kelas tinggi. Begitu klaimnya.
Busyeet. Logika membongkar konspirasi seperti inipun jangan jangan disangka sebagai penumpang gelap. Ekspresi jeritan rakyatpun tidak penting sepenting negoisasi bagi bagi posisi.
Di sisi lain, kecamuk politik pragmatis sedang mencari kambing hitam. Bukan malah menyadari kebobrokan internal dan personalnya. Buah hasil dari sengkarut problem sistemik negeri.
Ironisnya justru menggunakan kacamata kuda arahan penjajah. Melepaskan jati diri sebagai seorang muslim sejati. Islam sebagai ajaran dibahas penuh kebencian dan kontradiksi. Seolah sudah punah kepercayaan dan keberdayaan diri. Narasi adu domba begitu kental terasa. Islam sebagai seperangkat nilai yang belum dipraktekkan secara komprehensif dijadikan tertuduh. Dari segala kepongahan kekuasan dorongan nafsu materi. Di bawah kepemimpinan ideologi Keuangan yang Maha Kuasa. Alergi terhadap setiap istilah Syariah dan Khilafah. Ini yang terjadi akhir akhir. Sebuah rekayasa pengalihan politik transaksional dengan menjadikan sebuah entitas bernama HTI sebagai stempel dari seluruh alamat kesalahan. Merebut aspirasi rakyat melalui pesta Demokrasi TSMB menuju kesepakatan koalisi politik kepentingan golongan. Layaknya seperti pameo Maling Teriak Maling. Allahu 'alam bis showab.
Posting Komentar untuk "Politik Maling Teriak Maling "