Di Balik Mudah Tersulutnya Amarah di Bumi Papua
Oleh: Ahmad Rizal - Dir. Indonesia Justice Monitor
Kerusuhan terjadi di Kota Manokwari, Papua Barat, Senin (19/8/19) pagi. Kerusuhan merupakan buntut dari aksi warga. Dalam aksinya, warga memblokade jalan dengan ranting pohon serta membakar ban bekas. Beberapa ruas jalan yang diblokade di antaranya Jalan Yos Sudarso, Jalan Trikora Wosi, dan Jalan Manunggal Amban. Akibat aksi massa, aktivitas warga terganggu, bahkan sejumlah toko dan bank tutup.
Wakil Gubernur Papua Barat Mohammad Lakotani menyatakan aksi rusuh membuat semua aktivitas ekonomi dan sosial di manokwari lumpuh. Karopenmas Divisi Humas Polri Brigjen Dedi Prasetyo menjelaskan aksi diduga merupakan reaksi atas insiden dan penangkapan mahasiswa Papua di Surabaya pada 17 Agustus lalu.
(https://www.google.com/amp/s/www.kompas.tv/amp/article/52755/videos/cerita-indonesia/kronologi-kerusuhan-di-manokwari-reaksi-atas-insiden-di-surabaya)
Jika kita mencermati lebih dalam, sesungguhnya persoalan papua tidaklah sederhana. Kerusuhan di Manokwari baru-baru ini tentu tidak akan terjadi sedemikian hebat apabila hanya dilatarbelakangi oleh peristiwa penangkapan 43 mahasiswa di Surabaya yang kemudian mereka dilepaskan lagi. Lebih dari itu, bumi cenderawasih ini menyimpan persoalan yang amat sangat kompleks. Persoalan-persoalan inilah yang menyebabkan mudahnya amarah bumi papua tersulut.
KEMISKINAN DI PAPUA
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Provinsi Papua menjadi wilayah dengan angka kemiskinan tertinggi di Indonesia pada Maret 2019 dengan 27,53%. Angka ini meningkat 0,1% dari September 2018 yakni sebesar 27,43%. Sebagai perbandingan, angka kemiskinan nasional berada pada angka 9,47%.
Angka kemiskinan di daerah perkotaan lebih tinggi dibandingkan pedesaan. Lebih jauh, kemiskinan di perkotaan selalu mengalami kenaikan sejak September 2017. Pada Maret 2019 mengalami kenaikan sebesar 0,19% dibanding September 2018 menjadi 36,84%.
Sementara itu, kemiskinan di pedesaan sempat mengalami penurunan dari September 2017 sebesar 4,55% hingga September 2018 sebesar 4,01%. Namun pada Maret 2019, kemiskinan di pedesaan kembali naik 0,25% menjadi 4,26%.
RENDAHNNYA KUALITAS PENDIDIKAN
Selain itu, Papua memiliki angka pendidikan dengan kualitas yang rendah. Rektor Universitas Cendrawasih Apolo Safanpo, di Jayapura, Rabu, mengatakan dengan kata lain ada lebih dari 80 persen anak-anak muda Papua usia kuliah yang belum dapat terakomodasi di jenjang pendidikan tinggi.
"Hingga 2014, dari 300 ribu lebih putra-putri Papua berusia antara 19-24 tahun, hanya sekitar 60 ribuan orang yang dapat mengenyam pendidikan tinggi baik di perguruan tinggi negeri maupun swasta di Provinsi Papua," katanya.
Menurut Apolo, minimnya kesempatan terhadap pendidikan tinggi antara lain disebabkan karena daya tampung perguruan tinggi di Papua yang tidak seimbang dengan laju pertambahan penduduk Papua.
"Di samping minimnya daya tampung dan keterbatasan infrastruktur perkuliahan, persoalan mendasar yang dihadapi oleh perguruan tinggi di Papua adalah terkait tenaga pengajar, hingga kini rasio dosen dan mahasiswa di Papua masih jauh di bawah standar yang ditetapkan oleh Kemenristekdikti," ujarnya.
Dia menjelaskan kini seorang dosen di Uncen, misalnya, harus mengajar lebih dari 200 orang mahasiswa, sedangkan idealnya rasio dosen-mahasiswa adalah 1 banding 50 untuk bidang studi eksak dan 1 banding 30 untuk bidang studi sosial.
PENCEMARAN DAN KERUSAKAN LINGKUNGAN
Belum lagi ancaman kerugian kerusakan lingkungan akibat pencemaran oleh korporasi di papua. Freeport misalkan, sesuai dengan temuan Badan Pemeriksa Keuangan yang dirilis pada 2017, nilai kerugian lingkungan itu mencapai Rp 185 triliun. Kerusakan lingkungan terjadi karena tidak layaknya penampungan tailing di sepanjang Sungai Ajkwa, Kabupaten Mimika, Papua. Kerugian lingkungan di area hulu diperkirakan mencapai Rp 10,7 triliun, muara sekitar Rp 8,2 triliun, dan Laut Arafura Rp 166 triliun. Pelanggaran serius terjadi karena area penampungan tailing sebetulnya telah dibatasi hanya 230 kilometer persegi di wilayah hulu, tapi merembes hingga ke muara sungai.
Freeport telah membuang limbah tambang area hulu Sungai Ajkwa sejak 1995. Dengan kapasitas produksi 300 ribu ton, menurut penghitungan Badan Pemeriksa Keuangan, rata-rata 230 ribu ton limbah dihasilkan setiap hari. Maklum, dari seluruh tanah yang dikeruk dan diolah perusahaan tambang ini, hanya 3 persen yang mengandung mineral. Sisanya sebagian besar dibuang. Melimpahnya tailing Freeport menyebabkan pencemaran air serta kerusakan hutan dan kebun sagu. Masyarakat setempat pun menjadi terisolasi.
LAYANAN DAN MUTU KESEHATAN YANG RENDAH
Adapun terkait masalah kesehatan di papua. Pada tahun 2014-2017 ini kita digemparkan dengan rentetan Kejadian Luar Biasa (KLB) yang menimpa ratusan balita-generasi muda Papua. Ini menunjukkan adanya rendahnya kualitas pelayanan kesehatan di Papua.
Menurut Data Dinkes Papua (2011) di Papua hanya terdapat 316 dokter umum, 85 dokter spesialis, 36 dokter gigi, 1.309 bidan, 4.266 perawat dan 279 tenaga farmasi [1]. Sedangkan pada tahun 2017 meningkat menjadi 251 dokter spesialis, 774 dokter umum, 101 dokter gigi, tenaga kesehatan lain 789, dan farmasi 528 orang [2]. Jumlah ini tentu sangat terbatas, sementara jumlah populasi penduduk Papua sudah mencapai 3,5 juta jiwa lebih. Sesuai aturan WHO, rasio ideal antara dokter-penduduk adalah 40: 100.000 jiwa. Sementara di Papua baru mencapai angka 25:100.000 jiwa. Kita membutuhkan 1.200-an dokter untuk mencapai rasio ideal tadi.
Kemudian masalah fasilitas kesehatan (faskes) secara statistik di Papua terdapat 360 puskesmas, 29 Rumah Sakit pada tahun 2011. Terdapat beberapa kabupaten yang hingga tahun 2015 silam belum memiliki Rumah sakit, misalnya; Kabupaten Dogiay, Deiyai, Waropen, Intan Jaya, Puncak, Nduga, Tolikara, Mamberamo Tengah, Yalimo dan Sarmi.
Meski pada tahun 2017 jumlah puskesmas telah meningkat menjadi 194 dan total RS sudah mencapai 36 RS, 394 Puskesmas, 3.085 Posyandu, 967 Polindes yang tersebar di seluruh wilayah Papua namun yang masih menjadi persoalan adalah ada-tidaknya fasilitas yang memadai dalam meningkatkan mutu dan efektifitas pelayanan kesehatan kepada masyarakat secara optimal. Sebab, banyak Puskesmas yang ditemukan kosong, akibat ditinggalkan oleh petugasnya. Begitupun RS. Sudah ada bangunan, namun seringkali didapatkan tidak adanya fasilitas operasional dasar sebagai kriteria standar pelayanan minimum.
Kondisi-kondisi tidak ideal tadi semakin diperparah dengan adanya OPM (Organisasi Papua Merdeka) yang sengaja didesain untuk melakukan upaya disintegrasi yang dilatarbelakangi oleh kepentingan-kepentingan politik dan ekonomi elit tertentu.
Sesungguhnya Islam merupakan ajaran yang sempurna. Islam memiliki jawaban dan solusi-solusi tuntas problematika papua. Tidak hanya Papua, bahkan solusi untuk seluruh wilayah negeri ini bahkan seluruh persoalan warga dunia. Namun agaknya rezim penguasa lebih suka menuduh mereka yang menawarkan solusi Islam secara kaffah dengan tudingan radikal, anti Pancasila, anti NKRI dan narasi-narasi negatif lainnya yang sangat tidak berdasar. Sedangkan di sisi lain rezim sendiri telah terbukti gagal mengurus urusan rakyatnya. []
Posting Komentar untuk "Di Balik Mudah Tersulutnya Amarah di Bumi Papua"