Balada Sistem Zonasi Jarak Sekolah
BALADA SISTEM ZONASI
Oleh : Nasrudin Joha
Tersebutlah di sebuah negeri curang, terdapat dua orang tua yang sangat menyayangi dan memperhatikan masa depan pendidikan putra mereka. Karena sudah kelas akhir menjelang SMP, kedua orang tua itu sibuk berfikir untuk menyekolahkan putra mereka.
Ortu murid pertama, mendidik Puteranya sepenuh hati, membiayai les privat, mandorong untuk belajar maksimal. Dengan harapan, agar kelak mendapat nilai baik dan dapat menyekolahkan anaknya ke SMPN 1. Sekolah favorit SMP ketika itu.
Pada saat yang sama, ortu murid kedua sedang sibuk di kelurahan. Tujuannya sama : mempersiapkan Puteranya agar bisa sekolah di SMP favorit.
Ortu pertama, mengupayakan dengan nilai. Sementara ortu kedua, mengupayakan dengan mengajukan surat permohonan Perpindahan domisili, agar berubah domisilinya di wilayah sekitar SMP favorit, dengan alasan dekat dengan tempat kerja. Untuk ikhtiar ini, ortu kedua sampai rela mengontrak rumah sementara, untuk mengurus perpindahsn domisili.
Pengumuman hasil ujian SD telah keluar, semua orang tua sibuk mencarikan anaknya sekolah SMP. Ortu pertama dan ortu kedua, bertemu di sebuah SMPN favorit.
Ortu pertama, menjelaskan nilai anaknya yang bagus, hasil didikan, les privat, dan semangat belajar sang ansk, sambil menyodorkan setumpuk berkas bukti prestasi enaknya. Sementara, ortu kedua, hanya diam dan menyodorkan domisili baru ydng diurusnya,,yang berada di wilayah dekat SMPN favorit.
Singkat cerita, anak ortu pertama tidak diterima sementara anak ortu kedua lulus seleksi dan diterima SMPN favorit, bermodalkan surat domisili. Setumpuk kertas prestasi anak ortu pertama, yang diperoleh dengan susah payah tidak dipertimbangkan pihak sekolah.
Itulah realitas pendidikan era now, orang tua membawa anak masuk sekolah tapi diukur menggunakan meteran seperti ingin menjahit baju. Ukuran penerimaan ada pada jauh dekatnya domisili, bukan pada kemampuan dan prestasi.
Kalau kita berasumsi, semua sekolah baik, semua sekolah gratis, semua sekolah bisa sesuai dengan keinginan dan visi peserta didik, termasuk orang tua, tentu tidak ada masalah. Di tempat yang terdekat, orang tua bisa menyekolahkan anaknya di sekolah yang baik sesuai dengan minat dan potensi anak.
Tapi apakah realitasnya demikian ? Terfikirkan tidak, para pemangku kebijakan yang sok pinter bikin kebijakan zonasi, tentang kualitas sekolah yang belum merata ? Biaya pendidikan yang tidak sama ? Minat anak terhadap sekolah yang berbeda ?
Terfikir tidak, anak dengan minat masuk SMKN tetapi di wilayahnya hanya ada SMA. Padahal, dia ingin ke SMKN karena pertimbangan minat, juga karena biaya murah. Sementara SMA didekat rumah, adanya hanya SMA swasta, meski favorit tapi biaya mahal. Lagi pula, dia tidak ingin ke SMA karena punya kesadaran orang tua kurang mampu. Tidak mungkin lanjut kuliah, sehingga memilih ke SMK.
Jika sekolah ke SMKN, selain murah harapannya saat lulus punya keahlian praktis. Kemampuan praktis ini Bisa langsung untuk modal mengais rezeki membantu orang tua. Minimal untuk modal usaha ganti olie dan tambal ban saat lulus nanti.
Lagi pula, anak dengan kemampuan, kecerdasan tinggi, nilai baik, seharusnya punya hak untuk sekolah di sekolah yang baik ? Kenapa hak itu dihapus, hanya karena domisili ? Karena tidak berada di zonasi sekolah yang diinginkannya ?
Apakah, celah 'zonasi' ini tidak dimanfaatkan oknum ? Untuk mengais duit dari orang kaya yang anaknya ingin sekolah di sekolah favorit, yang siap mengeluarkan biaya apapun dan dalam jumlah berapapun ?
Bukanlah urusan domisili ini urusan prerogratif sekolah ? Apakah orang tua yang ditolak karena tidak satu zonasi, mendapat hak untuk mengakses domisili peserta didik lainnya ? Agar hatinya ridlo, bahwa yang diterima benar-benar satu domisili sekolah ?
Lantas, siapa yang menjamin domisili ini alami bukan rekayasa ? Dan bagaimana anak yang terpaksa tidak sekolah, karena di tempat domisilinya tidak ada sekolah, kalaupun ada sekolah swasta yang mahal. Lantas, zonasi lainnya apakah akan menjamin menampung anak, jika zonasi pertama tidak lolos ?
Dan, apakah tidak terbaca psikologi orang tua yang akan rela 'berkorban apapun' demi sekolah anaknya. Dan, apakah tidak terfikir ini akan menjadi celah bagi oknum sekolah untuk membuka 'tambang baru' untuk mengeksploitasi kegalauan orang tua peserta didik ?
Rezim ini benar-benar amatiran, mengelola anak mau sekolah saja tidak becus. Membuat sistem penerimaan berbasis zonasi, jelas merusak motifasi dan iklim kompetisi dalam dunia pendidikan.
Alih-alih mau menjadi negara maju, urusan penerimaan siswa baru bikin pusing orang tua. Apalagi mau berbusa menyaingi ekonomi negara China, bikin mobil SMK saja sampai saat ini tidak muncul wujudnya.
Ya Allah, berilah kami kesabaran untuk menghadapi rezim curang, yang amatiran, yang memaksa terus berkuasa padahal tak memiliki kemampuan mengelola kekuasaan. [].
Posting Komentar untuk "Balada Sistem Zonasi Jarak Sekolah"